Subject:
[perisai-asmo3] Tokoh ISLAM : Imam Bukhori
|
|
Tokoh
ISLAM : Imam Bukhori
Sumber dari segala sumber hukum yang utama atau yang pokok di dalam agama Islam adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Selain sebagai sumber hukum, Al-Qur'an dan As-Sunnah juga merupakan sumber ilmu pengetahuan yang universal. Isyarat sampai kepada ilmu yg mutakhir telah tercantum di dalamnya. Oleh karenanya siapa yang ingin mendalaminya, maka tidak akan ada habis-habisnya keajaibannya. Untuk mengetahui As-Sunnah atau hadits-hadits Nabi, maka salah satu dari beberapa bagian penting yang tidak kalah menariknya untuk diketahui adalah mengetahui profil atau sejarah orang-orang yang mengumpulkan hadits, yang dengan jasa-jasa mereka kita yang hidup pada jaman sekarang ini dapat dengan mudah memperoleh sumber hukum secara lengkap dan sistematis serta dapat melaksanakan atau meneladani kehidupan Rasulullah untuk beribadah seperti yang dicontohkannya. Untuk itu pada beberapa edisi kali ini, kami sajikan secara berturut-turut Profile Sejarah Hidup Enam Tokoh Penghimpun Hadits yang paling terkenal serta Sekilas Penjelasan Tentang Kitab Hadits-nya yang masyur. Abad ketiga Hijriah merupakan kurun waktu terbaik untuk menyusun atau menghimpun Hadits Nabi di dunia Islam. waktu itulah hidup enam penghimpun ternama Hadits Sahih yaitu: a.. Imam Bukhari b.. Imam Muslim c.. Imam Abu Daud d.. Imam Tirmizi e.. Imam Nasa'i f.. Imam Ibn Majah Tokoh Islam penghimpun dan penyusun hadits itu banyak, dan yang lebih terkenal di antaranya seperti yang disebut diatas. Adapun urutan pertama yang paling terkenal diantara enam tokoh tersebut di atas adalah Amirul-Mu'minin fil-Hadits (pemimpin orang mukmin dalam hadits), suatu gelar ahli hadits tertinggi. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja'fi, gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Karena itulah ia dikatakan "al-Mughirah al-Jafi." Mengenai kakeknya, Ibrahim, tidak terdapat data yang menjelaskan. Sedangkan ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadits. Ia belajar hadits dari Hammad ibn Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban dalam kitab As-Siqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya dalam at-Tarikh al-Kabir. Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara' (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan takwa. Diceritakan, bahwa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: "Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun uang yang haram maupun yang subhat." Dengan demikian, jelaslah bahwa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara'. Tidak heran jika ia lahir dan mewrisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu. Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum'at. Tak lama setelah bayi yang baru lahir itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo'a ke hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata: "Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat melihat kembali, semua itu berkat do'amu yang tiada henti-hentinya." Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididikl oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian. Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadits. Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadits. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadits, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra'yi (penganut faham rasional), dasar-dasar dan mazhabnya. Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma karena tidak mencatat. Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua karena Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat. Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai tempat tinggalnya. Mekah merupakan salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia menulis sebagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al-Jami'as-Sahih dan pendahuluannya. Ia menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam hari yang terang bulan. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya bemberikan kritik, sehingga ia pernah berkata bahwa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya. Kemudian ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam selama 16 tahun. Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi sampai ke seluruh Asia Barat. Diceritakan bahwa ia pernah berkata: "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits." Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan gudang ilmu dan ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang ia mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan mencelanya karena menetap di negeri Khurasan. Dalam setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa menghimpun hadits-hadits dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi hadits dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia dapat menghapal hadits sebanyak itu lengkap dengan sumbernya. Kemasyuran Imam Bukhari segera mencapai bagian dunia Islam yang jauh, dan kemanapun ia pergi selalu di elu-elukan. Masyarakat heran dan kagum akan ingatanya yang luar biasa. Pada tahun 250 H. Imam Bukhari mengunjungi Naisabur. Kedatangannya disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh gurunya, az-Zihli dan para ulama lainnya. Imam Muslim bin al-Hajjaj, pengarang kitab as-Sahih Muslim menceritakan: "Ketika Muhammad bin Ismail dating ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (± 100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya az-Zihli berkata: "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, seebab aku sendiri akan ikut menyambutnya. Esok paginya Muhammad bin Yahya az-Zihli, sebagian ulama dan penduduk Naisabur menyongsong kedatangan Imam Bukhari, ia pun lalu memasuki negeri itu dan menetap di daerah perkampungan orang-orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, ia mengajarkan hadits secara tetap. Sementara itu, az-zihli pun berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim yang saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya." Tak lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam bukhari atas perbuatan orang-orang yang iri dengki. Mereka meniupkan tuduhannya kepada Imam Bukhari sebagai orang yang berpendapat bahwa "Al-Qur'an adalah makhluk." Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, az-Zihli kepadanya, sehingga ia berkata: "Barang siapa berpendapat lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid'ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh di datangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya. Pada hakikatnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. Tetapi orang tersebut terus mendesaknya, maka ia menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid'a." Yang dimaksud dengan perbuatan manusia adalah bacaan dan ucapan mereka. Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari perbah berkata: "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW. yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman kemudian Ali. Dengan berpegang pada keyakinan dan keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akherat kelak, insya Allah." Demikian juga ia pernah berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta." Az-Zahli benar-benar telah murka kepadanya, sehingga ia berkata: "Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di negeri ini." Oleh karena Imam Bukhari berpendapat bahwa keluar dari negeri itu lebih baik, demi menjaga dirinya, dengan hrapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat mereda, maka ia pun memutuskan untuk keluar dari negeri tersebut. Setelah keluar dari Naisabur, Imam Bukhari pulang ke negerinya sendiri, Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk keperluan itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu farsakh (± 8 km) dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai manifestasi kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di negerinya itu, ia mengadakan majelis pengajian dan pengajaran hadits. Tetapi kemudian badai fitnah dating lagi. Kali ini badai itu dating dari penguasa Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad az-Zihli, walaupun sebabnya timbul dari sikap Imam Bukhari yang terlalu memuliakan ilmu yang dimlikinya. Ketika itu, penguasa Bukhara, mengirimkan utusan kepada Imam Bukhari, supaya ia mengirimkan kepadanya dua buah karangannya, al-Jami' al-Sahih dan Tarikh. Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya berpesan kepada utusan itu agar disampaikan kepada Khalid, bahwa "Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana. Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah penguasa, maka keluarkanlah larangan supaya aku tidak mengadakan majelis pengajian. Dengan begitu, aku mempunyai alas an di sisi Allah kelak pada hari kiamat, bahwa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu." Mendapat jawaban seperti itu, sang penguasa naik pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agar melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian ia mempunyai alas an untuk mengusir Imam Bukhari. Tak lama kemudian Imam Bukhari pun diusir dari negerinya sendiri, Bukhara. Imam Bukhari, kemudian mendo'akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnya secara tidak sah. Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid bin Ahmad dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menungang himar betina. Maka hidup sang penguasa yang dhalim kepada Imam Bukhari itu berakhir dengan kehinaan dan dipenjara. Imam Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya yang luar biasa itu pada karya tulisnya yang terpenting, Sahih Bukhari, tetapi juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia selalu mandi dan berdo'a sebelum menulis buku itu. Sebagian buku tersebut ditulisnya di samping makan Nabi di Madinah. Imam Durami, guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan hadits muridnya ini: "Di antara ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling bijaksana." Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yang isinya meminta ia supaya menetap di negeri mereka. Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah dsa kecil yang terletak dua farsakh sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka. Tetapi di desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya. Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya. Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak. Diceritakan bahwa dia menyatakan: "Aku menulis hadits yang diterima dari 1.080 orang guru, yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan." Di antara guru-guru besar itu adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma'in, Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab Sahih-nya sebanyak 289 orang guru. Karena kemasyurannya sebagai seorang alim yang super jenius, sangat banyak muridnya yang belajar dan mendengar langsung haditsnya dari dia. Tak dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadits dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat bahwa kitab Sahih Bukhari didengar secara langsung dari dia oleh sembilan puluh ribu (90.000) orang (Muqaddimah Fathul-Bari, jilid 22, hal. 204). Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim bin al-Hajjaj, Tirmizi, Nasa'i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al-Firabri, Ibrahim bin Ma'qil al-Nasafi, Hammad bin Syakr al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyur sebagai perawi kitab Sahih Bukhari. Dalam bidang kekuatan hafalan, ketajaman pikiran dan pengetahuan para perawi hadits, juga dalam bidang ilat-ilat hadits, Imam Bukhari merupakan salah satu tanda kekuasaan (ayat) dan kebesaran Allah di muka bumi ini. Allah telah mempercayakan kepada Bukhari dan para pemuka dan penghimpun hadits lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunah-sunah Nabi kita Muhammad SAW. Diriwayatkan, bahwa Imam Bukhari berkata: "Saya hafal hadits di luar kepala sebanyak 100.000 buah hadits sahih, dan 200.000 hadits yang tidak sahih." Mengenai kejeniusan Imam Bukhari dapat dibuktikan pada kisah berikut. Ketika ia tiba di Baghdad, ahli-ahli hadits di sana berkumpul untuk menguji kemampuan dan kepintarannya. Mereka mengambil 100 buah hadits, lalu mereka tukar-tukarkan sanad dan matannya (diputar balikkan), matan hadits ini diberi sanad hadits lain dan sanad hadits lain dinbuat untuk matan hadits yang lain pula. 10 orang ulama tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan tentang hadits yang telah diputarbalikkan tersebut. Orang pertama tampil dengan mengajukan sepuluh buah hadits kepada Bukhari, dan setiap orang itu selesai menyebutkan sebuah hadits, Imam Bukhari menjawab dengan tegas: "Saya tidak tahu hadits yang Anda sebutkan ini." Ia tetap memberikan jawaban serupa sampai kepada penanya yang ke sepuluh, yang masing-masing mengajukan sepuluh pertanyaan. Di antara hadirin yang tidak mengerti, memastikan bahwa Imam Bukhari tidak akan mungkin mampu menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan itu, sedangkan para ulama berkata satu kepada yang lainnya: "Orang ini mengetahui apa yang sebenarnya." Setelah 10 orang semuanya selesai mengajukan semua pertanyaannya yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi, kemudian Imam Bukhari melihat kepada penanya yang pertama dan berkata: "Hadits pertama yang anda kemukakan isnadnya yang benar adalah begini; hadits kedua isnadnya yang benar adalah beginii." Begitulah Imam Bukhari menjawab semua pertanyaan satu demi satu hingga selesai menyebutkan sepuluh hadits. Kemudian ia menoleh kepada penanya yang kedua, sampai menjawab dengan selesai kemudian menoleh kepada penanya yang ketiga sampai menjawab semua pertanyaan dengan selesai sampai pada penanya yang ke sepuluh sampai selesai. Imam Bukhari menyebutkan satu persatu hadits-hadits yang sebenarnya dengan cermat dan tidak ada satupun dan sedikitpun yang salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan sepuluh orang tadi mengeluarkan urutan pertanyaanya. Maka para ulama Baghdad tidak dapat berbuat lain, selain menyatakan kekagumannya kepada Imam Bukhari akan kekuatan daya hafal dan kecemerlangan pikirannya, serta mengakuinya sebagai "Imam" dalam bidang hadits. Sebagian hadirin memberikan komentar terhadap "uji coba kemampuan" yang menegangkan ini, ia berkata: "Yang mengagumkan, bukanlah karena Bukhari mampu memberikan jawaban secara benar, tetapi yang benar-benar sangat mengagumkan ialah kemampuannya dalam menyebutkan semua hadits yang sudah diputarbalikkan itu secara berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10 orang penguji, padahal ia hanya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu hanya satu kali."Jadi banyak pemirsa yang heran dengan kemampuan Imam Bukhari mengemukakan 100 buah hadits secara berurutan seperti urutannya si penanya mengeluarkan pertanyaannya padahal beliau hanya mendengarnya satu kali, ditambah lagi beliau membetulkan rawi-rawi yang telah diputarbalikkan, ini sungguh luar biasa. Imam Bukhari pernah berkata: "Saya tidak pernah meriwayatkan sebuah hadits pun juga yang diterima dari para sahabat dan tabi'in, melainkan saya mengetahui tarikh kelahiran sebagian besar mereka, hari wafat dan tempat tinggalnya. Demikian juga saya tidak meriwayatkan hadits sahabat dan tabi'in, yakni hadits-hadits mauquf, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW."
Dengan kedudukannya dalam ilmu dan kekuatan hafalannya
Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan, wajarlah jika semua guru, kawan
dan generasi sesudahnya memberikan pujian kepadanya. Seorang bertanya kepada
Qutaibah bin Sa'id tentang Imam Bukhari, ketika menyatakan : "Wahai para
penenya, saya sudah banyak mempelajari hadits dan pendapat, juga sudah sering
duduk bersama dengan para ahli fiqh, ahli ibadah dan para ahli zuhud; namun
saya belum pernah menjumpai orang begitu cerdas dan pandai seperti Muhammad
bin Isma'il al-Bukhari."
Imam al-A'immah (pemimpin para imam) Abu Bakar ibn Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan: "Di kolong langit ini tidak ada orang yang mengetahui hadits, yang melebihi Muhammad bin Isma'il." Demikian pula semua temannya memberikan pujian. Abu Hatim ar-Razi berkata: "Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadits melebihi Muhammad bin Isma'il; juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Irak yang melebihi kealimannya." Al-Hakim menceriakan, dengan sanad lengkap. Bahwa Muslim (pengarang kitab Sahih), dating kepada Imam Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya dan berkata: "Biarkan saya mencium kaki tuan, wahai maha guru, pemimpin para ahli hadits dan dokter ahli penyakit (ilat) hadits." Mengenai sanjungan diberikan ulama generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh perkataan al-Hafiz Ibn Hajar yang menyatakan: "Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi." Imam Bukhari adalah seorang yang berbadan kurus, berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak pendek; kulitnya agak kecoklatan dan sedikit sekali makan. Ia sangat pemalu namun ramah, dermawan, menjauhi kesenangan dunia dan cinta akhirat. Banyak hartanya yang disedekahkan baik secara sembunyi maupun terang-terangan, lebih-lebih untuk kepentingan pendidikan dan para pelajar. Kepada para pelajar ia memberikan bantuan dana yang cukup besar. Diceritakan ia pernah berkata: "Setiap bulan, saya berpenghasilan 500 dirham,semuanya dibelanjakan untuk kepentingan pendidikan. Sebab, apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal." Imam Bukhari sangat hati-hati dan sopan dalam berbicara dan dalam mencari kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para perawi. Terhadap perawi yang sudah jelas-jelas diketahui kebohongannya, ia cukup berkata: "Perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri tentangnya." Perkataan yang tegas tentang para perawi yang tercela ialah: "Haditsnya diingkari." Meskipun ia sangat sopan dalam mengkritik para perawi, namun ia banyak meninggalkan hadits yang diriwayatkan seseorang hanya karena orang itu diragukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ia berkata: "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan pula jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan perawi yang dalam pandanganku, perlu dipertimbangkan." Selain dikenal sebagai ahli hadits, Imam Bukhari juga sebenarnya adalah ahli dalam fiqh. Dalam hal mengeluarkan fatwa, ia telah sampai pada derajat mujtahid mustaqiil (bebas, tidak terikat pendapatnya pada madzhab-madzhab tertentu) atau dapat mengeluarkan hukum secara sendirian. Dia mempunyai pendapat-pendapat hukum yang digalinya sendiri. Pendapat-pendapatnya itu terkadang sejalan dengan madzhab Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan Madzhab Syafi'i dan kadang-kadang berbeda dengan keduanya. Selain itu pada suatu saat ia memilih madzhab Ibn Abbas, dan disaat lain memilih madzhab Mujahid dan 'Ata dan sebagainya. Jadi kesimpulannya adalah Imam Bukhari adalah seorang ahli hadits yang ulung dan ahli fiqh yg berijtihad sendiri, kendatipun yang lebih menonjol adalah setatusnya sebagai ahli hadits, bukan sebagai ahli fiqh. Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak melupakan kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan Diunul Islam. Imam Bukhari sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan bahwa sepanjang hidupnya, ia tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya. Tujuannya adalah untuk memerangi musuh-musuh Islam dan mempertahankannya dari kejahatan mereka. Diantara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut : a. Al-Jami' as-Sahih (Sahih Bukhari). b. Al-Adab al-Mufrad. c. At-Tarikh as-Sagir. d. At-Tarikh al-Awsat. e. At-Tarikh al-Kabir. f. At-Tafsir al-Kabir. g. Al-Musnad al-Kabir. h. Kitab al-'Ilal. i. Raf'ul-Yadain fis-Salah. j. Birril-Walidain. k. Kitab al-Asyribah. l. Al-Qira'ah Khalf al-Imam. m. Kitab ad-Du'afa. n. Asami as-Sahabah. o. Kitab al-Kuna. Sekilas Tentang Kitab AL-JAMI' AS-SAHIH (Sahih Bukhari) Diceritakan, Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW.; seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits Rasulullah SAW. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami' as-Sahih." Dalam menghimpun hadits-hadits sahih dalam kitabnya, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan kesahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya. Beliau senantiasa membanding-bandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan yang lain, menyaringnya dan memlih has mana yang menurutnya paling sahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al-Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun." Dan beliau juga sangat hati-hati, hal ini dapat dilihat dari pengakuan salah seorang muridnya bernama al-Firbari menjelaskan bahwa ia mendengar Muhammad bin Isma'il al-Bukhari berkata: "Aku susun kitab Al-Jami' as-Sahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah aku memasukkan ke dalamnya sebuah hadits pun, kecuali sesudah aku memohonkan istikharoh kepada Allah dengan melakukan salat dua rekaat dan sesudah aku meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar sahih." Maksud pernyataan itu ialah bahwa Imam Bukhari mulai menyusun bab-babnya dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram secara sistematis, kemudian menulis pendahuluan dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah tempat di antara makan Nabi SAW. dan mimbar. Setelah itu, ia mengumpulkan hadits-hadits dan menempatkannya pada bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di Mekah, Madinah dengan tekun dan cermat, menyusunnya selama 16Tahun. Dengan usaha seperti itu, maka lengkaplah bagi kitab tersebut segala faktor yang menyebabkannya mencapai kebenaran, yang nilainya tidak terdapat pada kitab lain. Karenanya tidak mengherankan bila kitab itu mempunyai kedudukan tinggi dalam hati para ulama. Maka sungguh tepatlah ia mendapat predikat sebagai "Buku Hadits Nabi yang Paling Sahih." Diriwayatkan bahwa Imam Bukhari berkata: "Tidaklah kumasukkan ke dalam kitab Al-Jami'as-Sahih ini kecuali hadits-hadits yang sahih; dan kutinggalkan banyak hadits sahih karena khawatir membosankan." Kesimpulan yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat terhadap kitabnya, menyatakan bahwa Imam Bukhari dalam kitab Sahih-nya selalu berpegang teguh pada tingkat kesahihan yang paling tinggi, dan tidak turun dari tingkat tersebut kecuali dalam beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadits mutabi dan hadits syahid, dan hadits-hadits yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi'in. Jumlah Hadits Kitab Al-Jami'as-Sahih (Sahih Bukhari) Al-'Allamah Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahwa jumlah hadits Sahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadits, termasuk hadits-hadits yang disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadits tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Al-"Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya, At-Taqrib. Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam muqaddimah Fathul-Bari, kitab syarah Sahih Bukhari, menyebutkan, bahwa semua hadits sahih mawsil yang termuat dalam Sahih Bukhari tanpa hadits yang disebutnya berulang sebanyak 2.602 buah hadits. Sedangkan matan hadits yang mu'alaq namun marfu', yakni hadits sahih namun tidak diwasalkan (tidak disebutkan sanadnya secara sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadits. Semua hadits Sahih Bukhari termasuk hadits yang disebutkan berulang-ulang sebanyak 7.397 buah. Yang mu'alaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi' sebanyak 344 buah hadits. Jadi, berdasarkan perhitungan ini dan termasuk yang berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082 buah hadits. Jumlah ini diluar haits yang mauquf kepada sahabat dan (perkataan) yang diriwayatkan dari tabi'in dan ulama-ulama sesudahnya.
Sumber: Kitab
Hadis Sahih yg Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah
Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia |
Riwayat Hidup Imam Muslim
Sumber
: Al-Islam, Pusat Informasi dan
Komunikasi Islam Indonesia
==================================================
Penghimpun
dan penyusun hadits terbaik kedua setelah Imam Bukhari adalah Imam Muslim.
Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin
Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Sahih (terkenal
dengan Sahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap
dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut
pendapat yang sahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam
kitabnya 'Ulama'ul-Amsar.
Kehidupan
dan Lawatannya untuk Mencari Ilmu
Ia
belajar hadits sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H. Ia
pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.
Dalam
lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru
hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan
Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu
'Ansan. Di Irak ia belajar hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin
Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; di
Mesir berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama
ahli hadits yang lain.
Muslim
berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli
hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari
dating ke Naisabur, Muslim sering dating kepadanya untuk berguru, sebab ia
mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan
antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini
menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Sahihnya
maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari
Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari.
Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari,
padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik
adalah tidak memasukkan ke dalan Sahihnya hadits-hadits yang diterima dari
kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
Wafatnya
Imam
Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah
satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55
tahun.
Guru-gurunya
Selain
yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama yang
menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu
Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr
an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa'id
al-Ayli, Qutaibah bin Sa'id dan lain sebagainya.
Keahlian
dalam Hadits
Apabila
Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadits sahih, berpengetahuan
luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadits, serta tajam kritiknya, maka
Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan
pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.
Imam
Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadits
maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berketa, "Muslim telah
mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang
dilaluinya." Pernyataan ini tidak berarti bahwa Muslim hanyalah seorang
pengekor. Sebab, ia mempunyai cirri khas dan karakteristik tersendiri dalam
menyusun kitab, serta etode baru yang belum pernah diperkenalkan orang
sebelumnya.
Abu
Quraisy al-Hafiz menyatakan bahwa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di
bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim
(Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah
ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli hadits
itu cukup banyak jumlahnya.
Karya-karya
Imam Muslim
Imam
Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :
1.
Al-Jami'
as-Sahih (Sahih Muslim).
2.
Al-Musnadul
Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits).
3.
Kitabul-Asma'
wal-Kuna.
4.
Kitab
al-'Ilal.
5.
Kitabul-Aqran.
6.
Kitabu
Su'alatihi Ahmad bin Hambal.
7.
Kitabul-Intifa'
bi Uhubis-Siba'.
8.
Kitabul-Muhadramin.
9.
Kitabu
man Laisa lahu illa Rawin Wahid.
10.
Kitab
Auladis-Sahabah.
11.
Kitab
Awhamil-Muhadditsin.
Kitab
Sahih Muslim
Di antara
kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih
tetap beredar hingga kini ialah Al-Jami' as-Sahih, terkenal dengan Sahih
Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling sahih dan
murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Sahih ini diterima baik oleh segenap
umat Islam.
Imam
Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari
keadaan para perawi, menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan, membandingkan
riwayat-riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam
menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan
antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa, maka lahirlah
kitab Sahihnya.
Bukti
kongkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim
menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya.
Diceritakan, bahwa ia pernah berkata: "Aku susun kitab Sahih ini yang
disaring dari 300.000 hadits."
Diriwayatkan
dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : "Aku menulis bersama Muslim untuk
menyusun kitab Sahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah
hadits.
Dalam
pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahwa jumlah
hadits Sahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadits. Kedua pendapat tersebut
dapat kita kompromikan, yaitu bahwa perhitungan pertama memasukkan
hadits-hadits yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua
hanya menghitung hadits-hadits yang tidak disebutkan berulang.
Imam
Muslim berkata di dalam Sahihnya: "Tidak setiap hadits yang sahih
menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Sahihnya. Aku hanya
mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati oleh para ulama
hadits."
Imam
Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang
diterimanya: "Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun,
maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad
ini."
Ketelitian
dan kehati-hatian Muslim terhadap hadits yang diriwayatkan dalam Sahihnya
dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut :
"Tidaklah aku
mencantumkan sesuatu hadits dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga
tiada aku menggugurkan sesuatu hadits daripadanya melainkan dengan alas an
pula."
Imam
Muslim di dalam penulisan Sahihnya tidak membuat judul setiap bab secara
terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebagian
naskah Sahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas
yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan
judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.
Sumber: Kitab Hadis Sahih yang Enam, Muhammad
Muhammad Abu Syuhbah
Al-Islam,
Pusat Informasi dan Komunikasi Islam
Indonesia
|
Riwayat Hidup Imam Ahmad
bin Hambal
Dipetik Dari
Buku :
1001 Duka Himpunan Kisah-kisah Menyayat Hati Oleh Muhammad Isa Selamat, Darul Numan
========================================================
Imam Ahmad
bin Muhammad bin Hambal. Beliau adalah Imam yang keempat dari fuqahak Islam.
Beliau memiliki sifat-sifat yang luhur dan tinggi. Ahmad bin Hambal
dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164H. Beliau termasyhur
dengan nama datuknya Hambal, kerana datuknya lebih masyhur dari ayahnya.
Ibnu
Hambal hidup dalam keadaan miskin, kerana ayahnya hanya meninggalkan sebuah
rumah kecil dan tanah yang sempit. Beliau terpaksa melakukan berbagai
pekerjaan. Beliau pernah bekerja di tempat tukang jahit, mengambil upah
menulis, menenun kain dan kadangkala mengambil upah mengangkat barang-barang
orang. Beliau lebih mementingkan makanan yang halal lagi baik dan beliau
tidak senang menerima hadiah-hadiah.
Ketika ia
masih berumur 14 tahun, Ahmad bin Hambal telah belajar mengarang dan
menghafal Al-Quran. Beliau bekerja keras dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Sebagai seorang ulama yang sangat banyak ilmunya, Ibnu Hambal pun seorang
yang teguh imannya, berani berbuat di atas kebenaran. Dia tidak takut bahaya
apa pun terhadap dirinya di dalam menegakkan kebenaran itu. Kerana Allah
memang telah menentukan bahwa setiap orang yang beriman itu pasti akan diuji
keimanannya. Termasuk juga para nabi dan rasul yang tidak pernah lepas dari
berbagai ujian dan cubaan.
Ujian dan
cubaan berupa fitnah, kemiskinan, seksaan dan lain-lainnya itu selalu akan
mendampingi orang-orang yang beriman apalagi orang yang menegakkan kebenaran.
Demikian juga halnya dengan Imam Hambali, terlalu banyak bahaya yang
dihadapinya dalam berjuang menegakkan kebenaran agama. Ujian itu datangnya
bermacam-macam kadangkala dari musuh kita dan dapat juga timbul dari
kawan-kawan yang merasa iri dengan kebolehan seseorang.
Imam
Hambali berada di zaman kekuasaan kaum Muktazilah yang berpendapat bahawa
Quran itu adalah makhluk. Pendirian ini begitu kuatnya di kalangan
pemerintah, sehingga barangsiapa yang bertentangan pendirian dengan pihak
pemerintah tentu akan mendapat siksaan. Sebelum Al-Makmun ini, yakni di zaman
sultan Harun Al-Rasyid, ada seorang ulama bernama Basyar Al-Marisy
berpendapat bahawa Quran itu adalah makhluk. Baginda Harun Al-Rasyid tidak
mahu menerima pendapat tersebut. Bahkan terhadap orang yang berpendapat
demikian akan diberi hukuman. Kerana ancaman itu akhirnya Basyar melarikan
diri dari Baghdad.
Sultan
Harun Al-Rasyid pernah berkata: “Kalau umurku panjang dan masih dapat
berjumpa dengan Basyar niscaya akan kubunuh dia dengan cara yang belum pernah
aku lakukan terhadap yang lain?” Selama 20 tahun lamanya Syekh Basyar menyembunyikan
diri dari kekuasaan Sultan.
Tetapi
setelah Sultan Harun Al-Rasyid meninggal dunia, kemudian diganti dengan
puteranya Al-Amin barulah Syekh Basyar keluar dari persembunyiannya. Kembali
ia mengeluarkan pendapatnya itu, bahawa Quran itu adalah makhluk. Al-Amin
juga sependirian dengan ayahnya tidak setuju dengan pendapat tersebut. Ia
mengancam berat terhadap orang yang mengatakan Quran itu makhluk.
Kemudian
kepala negara pindah lagi ke tangan saudara Al-Amin yaitu Al-Makmun. Di zaman
pemerintahan Al-Makmun inilah pendapat tentang Quran itu makhluk mula
diterima. Al-Makmun sendiri telah terpengaruh dan ikut berpendapat demikian.
Pada suatu kali oleh Al-Makmun diadakan pertemuan para ulama besar, untuk
membincangkan hal itu, tetapi para ulama tetap berpendapat bahawa Al-Quran
itu adalah makhluk. Al-Makmun mengharapkan supaya pendapat itu diterima orang
ramai.
Pada masa
itu satu-satunya ulama yang keras berpendirian bahawa “Al-Quran itu bukan
makhluk?” Hanyalah Imam Hambali. Secara terus terang ia berkata di hadapan
Sultan:“Bahawa Al-Quran bukanlah makhluk yang dijadikan Allah, tetapi ia
adalah Kalamullah.”
Imam
Hambali satu-satunya ulama ketika itu yang berani membantah, sedangkan yang
lainnya diam seribu bahasa. Kemudian ia ditangkap dan dihadapkan ke hadapan
baginda. Ia dipanggil bersama tiga orang ulama yang lainnya, yaitu Imam
Hassan bin Muhammad Sajah, Imam Muhammad bin Nuh dan Imam Ubaidah bin Umar.
Kedua ulama di antara mereka sama menjawab dan membenarkan pendapat baginda
sementara Imam Hambali dan Imam Muhammad bin Nuh dengan tegas menjawab bahawa
Quran itu bukanlah makhluk. Keduanya lalu dimasukkan ke dalam penjara.
Setelah beberapa hari dalam penjara datang surat dari Tharsus yang meminta
supaya keduanya dibawa ke sana dengan dirantai.
Kedua
ulama tersebut betul-betul dirantai kedua kaki dan tangannya dan ditunjukkan
di hadapan orang ramai. Kemudian dibawa ke Tharsus, sesampainya di sana
keduanya dimasukkan ke dalam penjara. Kerajaan mempunyai seorang ulama besar
bernama Ahmad bin Abi Daud, yang pandai berbicara namun lemah dalam
pendirian.
Terhadap
Imam Hambali mereka minta supaya dihukum dengan hukuman yang
seberat-beratnya. Baginda raja menerima usulan tersebut. Lalu Imam Hambali
dihadapkan depan raja dan ditanyakan tentang pendiriannya. Namun ia tetap
menyampaikan pendiriannya bahawa Al-Quran itu ialah Kalamullah bukan makhluk.
Dan ia menegaskan lagi bahwa ia tidak akan berubah dari pendiriannya itu.
Akhirnya
terjadilah persidangan yang dipimpin oleh baginda sendiri. Kemudian baginda
memanggil Imam Hambali dan berkata: “Atas nama saya sebagai kerabat Nabi
Muhammad SAW saya akan memukul engkau beberapa kali, sampai engkau
membenarkan apa yang telah saya benarkan, atau mengatakan seperti yang saya
kata?” Kerana Imam Hambali masih tetap dengan pendiriannya, maka baginda
memerintahkan kepada perajuritnya untuk memukul Imam Hambali.
Ketika
cambuk yang pertama singgah di punggung beliau, beliau mengucapkan
“Bismillah.” Ketika cambuk yang kedua, beliau mengucapkan “La haula
walaa quwwata illaa billah” (tiada daya dan kekuatan apa pun kecuali izin
Allah). Ketika cambuk yang ketiga kalinya beliau mengucapkan “Al-Quran
kalaamullahi ghairu makhluk” (Al-Quran adalah kalam Allah bukan makhluk). Dan
ketika pada pukulan yang keempat, beliau membaca surah At-Taubah ayat 51.
“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa
kami melainkan apa yang ditetapkan oleh Allah bagi kami.”
Sehingga
seluruh badan beliau mengalir darah merah.
Akhirnya
beliau dimasukkan ke dalam penjara kembali. Pada suatu hari ketika Imam
Hambali dibawa ke Kota Anbar dengan tangan yang terbelenggu, seorang yang
alim bernama Abu Ja’far Al-Anbari menghampiri beliau. Imam Hambali bertanya
kepadanya: “Hai Abu Ja’far apakah engkau susah melihat keadaanku?” “Tidak
wahai Imam, engkau adalah pemuka umat, kerana umat manusia ada di belakangmu.
Demi Allah, bila engkau mahu menjawab bahwa Quran itu makhluk, pastilah umat
akan mengikutimu, dan bila engkau tidak mau menjawab, maka umat juga tidak
mau menjawab seperti apa yang ingin engkau jawab. Bila engkau tidak mati
dibunuh orang, pasti engkau juga akan mati dengan cara yang lain. Maka
janganlah engkau mau menuruti kehendak mereka.”
Mendengar
kata-kata Ja’far itu beliau mencucurkan air mata dan berkata: “Masya-Allah!,
Masya-Allah!, Masya-Allah!. Kemudian beliau pun dikunjungi oleh bekas
penjahat bernama Abdul Haitsam Al-Ayyar dan berkata kepada beliau: “Wahai
Imam, saya ini seorang pencuri yang didera dengan beribu-ribu cambukan, namun
saya tidak mau mengakui perbuatan saya, pada hal saya menyedari bahwa saya
salah. Maka janganlah Imam gelisah dalam menerima dera, sebab engkau dalam
kebenaran.”
Ketika
Khalifah Al-Makmun meninggal dunia pada tahun 218H (833 M) setelah memerintah
20 tahun lamanya, yang mengganti beliau ialah saudaranya yang bernama Ishaq
Muhammad bin Harun Al-Rasyid yang bergelar dengan Al-Muktashimbillah. Sebelum
Khalifah Al-Makmun meninggal dunia beliau telah berpesan kepada bakal
penggantinya itu bahawa faham Al-Quran itu makhluk harus dipertahankan.”
Kebijaksanaan
kerajaan yang menyeksa para ulama yang tidak sependirian dengan faham
kerajaan itu atas dasar hasutan seorang ulama kerajaan yang bernama Qadhi
Qudhoti Ahmad bin Abi Daud (Daud). Ulama inilah yang memberikan usulan kepada
Al-makmun bahwa jika Imam Ahmad bin Hambal tetap tidak mahu mengikuti bahawa
Al-Quran itu makhluk hendaklah dihukum dengan hukuman yang berat.
Setelah
kerajaan dipegang oleh Al-Muktasim ulama Ahmad bin Daud masih tetap menjadi
qadi kerajaan. Pada suatu hari Qadi kerajaan ini cuba mengadili Imam Hambali
dengan melakukan perdebatan akhirnya Ahmad bin Daud kalah kerana tidak dapat
mengemukakan alasan yang lebih kuat. Walaupun demikian Imam Hambali tetap
dimasukkan kembali ke dalam penjara.
Pada
bulan Ramadhan pengadilan terhadap Imam Hambali diadakan lagi. Khalifah
Al-Muktashim bertanya: “Al-Quran itu adalah baru, bagaimana pendapat anda.”
“Tidak!, Al-Quran adalah kalam Allah, saya tidak sejauh itu membahasnya
kerana di dalam Al-Quran dan hadisth tidak disuruh membahas soal tersebut.”
Jawab beliau.
Beliau
dicambuk sampai berdarah, pada hal ketika itu bulan puasa. Baginda berkata:
“Kalau kamu merasa sakit dengan pukulan ini, maka ikutilah saya, dan akuilah
bahawa Al-Quran itu makhluk, supaya kamu selamat.”
Penderaan
pun terus berlangsung, sehingga beliau terasa bahwa tali seluar yang menutup
auratnya putus dan hampir turun ke bawah. Beliau pun mengangkatkan mukanya ke
atas sambil berdoa: “Ya Allah!, atas namaMu yang menguasai Arsy, bahawa jika
Engkau mengetahui bahwa saya adalah benar, maka janganlah Engkau jatuhkan
penutup aurat ku.” Ketika itu pula seluar beliau yang akan jatuh itu naik ke
atas kembali sehingga aurat beliau tidak jadi terlihat oleh orang ramai.
Penyeksaan
terhadap beliau itu baru berakhir setelah selesai maghrib. Para hakim dan
orang- orang hadir kemudian berbuka puasa di hadapan beliau. Sementara beliau
dibiarkan saja tidak diberi sesuatu makanan untuk berbuka. Demikianlah
seterusnya, pada hari yang kedua pun beliau masih tetap didera sampai seluruh
badannya mencucurkan darah. Pada hari ketiga beliau masih tetap didera
sehingga pengsan.
Setelah
Al-Muktashim meninggal dunia ia diganti dengan puteranya Al-Watsiq. Pada masa
ini banyak penganiayaan dilakukan terhadap para ulama. Khalifah Al-Watsiq
inilah yang memancung leher ulama terkenal yakni Ahmad bin Naser Al-Khuza’i.
Kepala Ahmad bin Naser digantung dan diletak tulisan yang berbunyi: “Inilah
kepala Ahmad bin Naser yang tidak mahu mengakui bahawa Al-Quran itu makhluk,
maka Tuhan memasukkan Ahmad bin Naser ke dalam neraka, kepala ini menjadi peringatan
bagi mereka yang memalingkan dirinya dari kiblat.” Demikianlah tulisan yang
diletakkan dekat leher Ahmad bin Naser.
Kemudian
Khalifah Al-Watsiq meninggal dunia dan digantikan dengan saudara beliau yang
bernama, Al-Mutawakkil. Pada masa inilah dicabut tentang faham muktazilah dan
diadakan pembebasan terhadap semua ulama yang ditahan, termasuk Imam Ahmad
bin hambal. Sementara itu Imam Hambali setelah dibebaskan beliau diberi
hadiah sebanyak l0,000 dirham, namun hadiah tersebut beliau tolak. Kerana dipaksa
untuk menerimanya, akhirnya beliau terima dan dibahagi-bahagikan kepada fakir
miskin.
Pada hari
Jumaat tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H/855 M beliau meninggal dunia yang
fana ini dengan tenang dalam usia 77 tahun. Setelah mendengar wafatnya beliau,
seluruh Kota Baghdad menjadi gempar jenazah beliau disembahyangkan lebih dari
130,000 orang muslimin. Demikian berakhirnya riwayat seorang penegak
kebenaran dan meninggikan ilmu pengetahuan, setelah melalui berbagai seksaan
dan penganiayaan. Semoga mereka yang berjuang pada jalan Allah menjadi
kekasih Allah, yang selalu mendapat keberkahannya dan keredhaanNya.
Banyak
lagi mereka yang berjuang pada jalan Allah akhirnya menerima ujian dan cubaan
dengan berbagai penganiayaan dan seksaan.
Firman
Allah ertinya:
“Apakah manusia itu mengira bahawa mereka
dibiarkan saja mengatakan. “Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji?
Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang- orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.”
(Al-Ankabut: 2-3)
walluhu
a'lam bish-shawab,-
|
Riwayat
Hidup Imam Abu Dawud
Sumber : Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam
Indonesia
==================================================
Setelah
Imam Bukhari dan Imam Muslim, kini giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan
tokoh kenamaan ahli hadits pada jamannya. Kealiman, kesalihan dan
kemuliaannya semerbak mewangi hingga kini.
Nama
Lengkap dan Tahun Kelahirannya:
Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy'as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin 'Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadits yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadits setelah dua imam hadits Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.
Perkembangan dan Perlawatannya
Sejak
kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka
untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya.
Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan, mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadits dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadits, kemudian hadits-hadits yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadits dan fiqh kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadits, Ahmad bin Hanbal. Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi "Ka'bah" bagi para ilmuwan dan peminat hadits.
Guru-gurunya
Para
ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya. Di antaranya
guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa'nabi, Abu 'Amr
ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja', Abu'l Walid at-Tayalisi dan
lain-lain. Sebagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam
Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin
Sa'id.
Murid-muridnya (Para Ulama yang Mewarisi Haditsnya)
Ulama-ulama
yang mewarisi haditsnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu 'Isa
at-Tirmizi, Abu Abdur Rahman an-Nasa'i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu
Dawud, Abu Awanah, Abu Sa'id al-A'rabi, Abu Ali al-Lu'lu'i, Abu Bakar bin
Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa'id al-Jaldawi dan lain-lain.
Cukuplah sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, bahwa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadits yang diterima dari padanya. Hadits tersebut ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma'syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: "Rasulullah SAW. ditanya tentang 'atirah, maka ia menilainya baik."
Akhlak dan Sifat-sifatnya yang Terpuji
Abu
Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai
derajat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara' dan kesalehannya. Ia adalah
seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa
dan kepribadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebagian
ulama yang menyatakan: Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam
perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta kepribadiannya.
Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki', Waki menyerupai Sufyan
as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha'i,
Ibrahim menyerupai 'Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas'ud. Sedangkan Ibn
Mas'ud sendiri menyerupai Nabi SAW. dalam sifat-sifat tersebut. Sifat dan
kepribadian yang mulia seperti ini menunjukkan aatas kesempurnaan
keberagamaan, tingkah laku dan akhlak.
Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab: "Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.
Pujian Para Ulama Kepadanya
Abu
Dawud adalah juga merupakan "bendera Islam" dan seorang hafiz yang
sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadits dan ilat-ilatnya.
Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya
sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud:
"Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadits, dan di akhirat untuk
surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia." Sahal bin
Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan
kepadanya: "Ini adalah Sahal, dating berkunjung kepada tuan." Abu
Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal
berkata: "Wahai Abu Dawud, saya ada keperluan keadamu." Ia
bertanya: "Keperluan apa?" "Ya, akan saya utarakan nanti,
asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin," jawab Sahal.
"Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu," tandan Abu Dawud. Lalu
Sahal berkata: "Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk
meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya."
Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadits berkata: "Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud." Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadits. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik. Abu Bakar al-Khallal, ahli hadits dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'as, imam terkemuka pada jamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud karena ketinggian derajatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.
Madzhab Fiqh Abu Dawud
Syaikh
Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya
menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian
juga Qadi Abu'l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya'la (wafat 526 H) dalam
Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad
merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah
bermadzhab Syafi'i.
Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika Sunan-nya. Terlebih lagi bahwa kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadits pada masa-masa awal.
Memandang Tinggi Kedudukan Ilmu dan Ulama
Sikap
Abu Dawud yang memandang tinggi terhadap kedudukan ilmu dan ulama ini dapat
dilihat pada kisah berikut sebagaimana dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh
Imam al-Khattabi, dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Ia berkata:
"Aku bersama Abu Dawud tinggi di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami
selesai menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu
pintu aku buka dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad
al-Muwaffaq mohon ijin untuk masuk. Kemudian aku melapor kepada Abu Dawud
tentang tamu ini, dan ia pun mengijinkan. Sang Amir pun masuk, lalu duduk.
Tak lama kemudian Abu Dawud menemuinya seraya berkata: "Gerangan apakah
yang membawamu datang ke sini pada saat seperti ini?" "Tiga
kepentingan," jawab Amir. "Kepentingan apa?" tanyanya. Amir menjelaskan,
"Hendaknya tuan berpindah ke Basrah dan menetap di sana, supaya para
penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia dating belajar kepada tuan; dengan
demikian Basrah akan makmur kembali. Ini mengingat bahwa Basrah telah hancur
dan ditinggalkan orang akibat tragedy Zenji." Abu Dawud berkata:
"Itu yang pertama, sebutkan yang kedua!" "Hendaknya tuan
berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putra-putraku," kata Amir.
"Ya, ketiga?" Tanya Abu Dawud kembali. Amir menerangkan:
"Hendaknya tuan mengadakan majelis tersendiri untuk mengajarkan hadits
kepada putra-putra khalifah, sebab mereka tidak mau duduk bersama-sama dengan
orang umum." Abu Dawud menjawab: "Permintaan ketiga tidak dapat aku
penuhi; sebab manusia itu baik pejabat terhormat maupun rakyat melarat, dalam
bidang ilmu sama." Ibn Jabir menjelaskan: "Maka sejak itu
putra-putra khalifah hadir dan duduk bersama di majelis taklim; hanya saja di
antara mereka dengan orang umum di pasang tirai, dengan demikian mereka dapat
belajar bersama-sama."
Maka hendaknya para ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus dating kepada para ulama. Dan kesamaan derajat dalam ilmu dan pengetahuan ini, hendaklah dikembangkan apa yang telah dilakukan Abu Dawud tersebut.
Tanggal Wafatnya
Setelah
mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia,
menghimpun dan menyebarluaskan hadits, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah
yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana
telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah
senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.
Karya-karyanya
Imam
Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:
1.
Kitab
AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud).
2.
Kitab
Al-Marasil.
3.
Kitab
Al-Qadar.
4.
An-Nasikh
wal-Mansukh.
5.
Fada'il
al-A'mal.
6.
Kitab
Az-Zuhd.
7.
Dala'il
an-Nubuwah.
8.
Ibtida'
al-Wahyu.
9.
Ahbar
al-Khawarij.
Di
antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap
beredar adalah kitab Amerika Serikat-Sunnan, yang kemudian terkenal dengan
nama Sunan Abi Dawud.
Kitab Sunan Karya Abu Dawud
Metode
Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya
Karya-karya
di bidang hadits, kitab-kitab Jami' Musnad dan sebagainya disamping berisi
hadits-hadits hokum, juga memuat hadits-hadits yang berkenaan dengan
amal-amal yang terpuji (fada'il a'mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat
(mawa'iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu
Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadits-hadits
hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun
kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai
kitab yang indah dan baik.
Abu
Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadits-hadits sahih semata
sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia
memasukkan pula kedalamnya hadits sahih, hadits hasan, hadits dha'if yang
tidak terlalu lemah dan hadits yang tidak disepakati oleh para imam untuk
ditinggalkannya. Hadits-hadits yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya.
Cara
yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia
kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan
mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:
"Aku mendengar dan menulis hadits Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadits yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadits-hadits sahih, semi sahih dan yang mendekati sahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadits pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadits yang mengandung kelemahan yang sangat kujelaskan, sebagai hadits macam ini ada hadits yang tidak sahih sanadnya. Adapun hadits yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadits tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebagian dari hadits yang sahih ini ada yang lebih sahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur'an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat buah hadits saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang. Hadits tersebut adalah, yang artinya:
Pertama:
"Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa yang ia niatkan. Karena itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya karena untuk mendapatkan dunia atau karena perempuan yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu."
Kedua:
"Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya."
Ketiga:
"Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya."
Keempat:
"Yang halal itu sudah jelas, dan yang harampun telah jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati."
Demikianlah
penegasan Abu Dawud dalam suratnya.
Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Hadits pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah. Hadits kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia. Hadits ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing. Hadits keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara memperoleh atau mencapai sifat wara', yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, karena untuk menganggap enteng melakukan haram. Dengan hadits ini nyatalah bahwa keempat hadits di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan kebahagiaan.
Komentar Para Ulama Mengenai Kedudukan Kitab Sunan
Abu Dawud
Tidak
sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu Hamid
al-Ghazali berkata: "Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid
untuk mengetahui hadits-hadits ahkam." Demikian juga dua imam besar,
An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab
Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam
pengambilan hokum.
Hadits-hadits Sunan Abu Dawud yang Dikritik
Imam
Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadits yang dicantumkan oleh
Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadits-hadits maudu'
(palsu). Jumlah hadits tersebut sebanyak 9 buah hadits. Walaupun demikian,
disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis
"palsu", namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah
oleh sebagian ahli hadits, seperti Jalaluddin Amerika Serikat-Suyuti. Dan
andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka
sebenarnya hadits-hadits yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan
hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadits yang terkandung di dalam
kitab Sunan tersebut. Karena itu kami melihat bahwa hadits-hadits yang
dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai
referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.
Jumlah Hadits Sunan Abu Dawud
Di
atas telah disebutkan bahwa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadits sebanyak
4.800 buah hadits. Namun sebagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274
buah hadits. Perbedaan jumlah ini disebabkan bahwa sebagian orang yang
menghitungnya memandang sebuah hadits yang diulang-ulang sebagai satu hadits,
namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadits atau lebih. Dua jalan
periwayatan hadits atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadits.
Abu
Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab
dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di
antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah
bab sebanyak 1.871 buah bab.
Sumber:
Kitab Hadis Sahih yang Enam,
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah
|
Riwayat Hidup Imam Nasa'i
Sumber
: Al-Islam, Pusat Informasi dan
Komunikasi Islam Indonesia
==================================================
Imam
Nasa'i juga merupakan tokoh ulama kenamaan ahli hadits pada masanya. Selain Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu
Dawud, Jami' At-Tirmizi, juga karya besar Imam Nasa'I, Sunanus Sugra termasuk jajaran kitab
hadits pokok yang dapat dipercaya dalam pandangan ahli hadits dan para
kritikus hadits.
Nama Lengkap dan
Kelahirannya
Ia
adalah seorang imam ahli hadits syaikhul Islam sebagaimana diungkapkan
az-Zahabi dalam Tazkirah-nya Abu 'Abdurrahman Ahmad bin 'Ali bin Syu'aib 'Ali
bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Qadi, pengarang kitab Sunan dan kitab-kitab
berharga lainnya. Juga ia adalah seorang ulama hadits yang jadi ikutan dan
ulama terkemuka melebihi para ulama yang hidup pada jamannya.
Dilahirkan
di sebuah tempat bernama Nasa' pada tahun 215 H. Ada yang mengatakan pada
tahun 214 H.
Pengembaraannya
Ia
lahir dan tumbuh berkembang di Nasa', sebuah kota di Khurasan yang banyak
melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya
itulah ia menghafal Al-Qur'an dan dari guru-guru neerinya ia menerima
pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok. Setelah meningkat remaja, ia senang
mengembara untuk mendapatkan hadits. Belum lagi berusia 15 tahun, ia berankat
mengembara menuju Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama
negeri tersebut ia belajar hadits, sehingga ia menjadi seorang yang sangat
terkemuka dalam bidang hadits yang mempunyai sanad yang 'Ali (sedikit
sanadnya) dan dalam bidang kekuatan periwayatan hadits.
Nasa'i
merasa cocok tinggal di Mesir. Karenanya, ia kemudian menetap di negeri itu,
di jalan Qanadil. Dan seterusnya menetap di kampung itu hingga setahun
menjelang wafatnya. Kemudian ia berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru
ini ia mengalami suatu peristiwa tragis yang menyebabkan ia menjadi syahid.
Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan Mu'awiyyah r.a. Tindakan ini
seakan-akan mereka minta kepada Nasa'i agar menulis sebuah buku tentang
keutamaan Mu'awiyyah, sebagaimana ia telah menulis mengenai keutamaan Ali
r.a. Oleh karena itu ia menjawab kepada penanya tersebut dengan "Tidakkah Engkau merasa puas dengan
adanya kesamaan derajat (antara Mu'awiyyah dengan Ali), sehingga Engkau
merasa perlu untuk mengutamakannya?" Mendapat jawaban seperti ini
mereka naik pitam, lalu memukulinya sampai-sampai buah kemaluannya pun
dipukul, dan menginjak-injaknya yang kemudian menyeretnya keluar dari masjid,
sehingga ia nyaris menemui kematiannya.
Wafatnya
Tidak
ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal dunia. Imam Daraqutni
menjelaskan, bahwa di saat mendapat cobaan tragis di Damsyik itu ia meminta
supaya dibawa ke Makkah. Permohonannya ini dikabulkan dan ia meninggal di
Makkah, kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Safa dan Marwah. Pendapat
yang sama dikemukakan pula oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-'Uqbi
al-Misri dan ulama yang lain.
Imam
az-Zahabi tidak sependapat dengan pendapat di atas. Menurutnya yang benar
ialah bahwa Nasa'i meningal di Ramlah, suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus
dalam Tarikhnya setuju dengan pendapat ini, demikian juga Abu Ja'far
at-Tahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Selain pendapat ini menyatakan bahwa ia
meninggal di Ramlah, tetapi yang jelas ia dikebumikan di Baitul Maqdis. Ia
wafat pada tahun 303 H.
Sifat-sifatnya
Ia
bermuka tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan ia senang mengenakan
pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang yang banyak melakukan
ibadah, baik di waktu malam atau siang hari, dan selalu beribadah haji dan
berjihad.
Ia
sering ikut bertempur bersama-sama dengan gubernur Mesir. Mereka mengakui
kesatriaan dan keberaniannya, serta sikap konsistensinya yang berpegang teguh
pada sunnah dalam menangani masalah penebusan kaum Muslimin yang tetangkap
lawan. Dengan demikian ia dikenal senantiasa "menjaga jarak" dengan majelis sang Amir, padahal ia
tidak jarang ikut bertempur besamanya. Demikianlah. Maka, hendaklah para ulama itu senantiasa
menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan. Namun ada panggilan untuk berjihad,
hendaklah mereka segera memenuhi panggilan itu. Selain itu, Nasa'i telah mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari
puasa dan sehari tidak.
Fiqh Nasa'i
Ia
tidak saja ahli dan hafal hadits, mengetahui para perawi dan
kelemahan-kelemahan hadits yang diriwayatkan, tetapi ia juga ahli fiqh yang
berwawasan luas.
Imam
Daraqutni pernah berkata mengenai Nasa'i bahwa ia adalah salah seorang Syaikh
di Mesirr yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling
mengetahui tentang hadits dan perawi-perawi.
Ibnul
Asirr al-Jazairi menerangkan dalam mukadimah Jami'ul Usul-nya, bahwa Nasa'i
bermazhab Syafi'i dan ia mempunyai kitab Manasik yang ditulis berdasarkan
mazhab Safi'i, rahimahullah.
Karya-kayanya
Imam
Nasa'i telah menulsl beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Di
antaranya:
1.
As-Sunanul-Kuba.
2.
As-Sunanus-Sugra, tekenal dengan nama Al-Mujtaba.
3.
Al-Khasa'is.
4.
Fada'ilus-Sahabah.
5.
Al-Manasik.
Di antara karya-karya tersebut, yang paling besar dan bemutu adalah Kitab As-Sunan.
Sekilas tentang
Sunan An-Nasa'i
Nasa'i
menerima hadits dari sejumlah guru hadits terkemuka. Di antaranya ialah
Qutaibah Imam Nasa'i Sa'id. Ia mengunjungi kutaibah ketika berusia 15 tahun,
dan selama 14 bulan belajar di bawah asuhannya. Guru lainnya adalah Ishaq bin
Rahawaih, al-Haris bin Miskin, 'Ali bin Khasyram dan Abu Dawud penulis as-Sunan, serta Tirmizi, penulis al-Jami'.
Hadits-haditsnya
diriwayatkan oleh para ulama yang tidak sedikit jumlahnya. Antara lain Abul
Qasim at-Tabarani, penulis tiga buah Mu'jam,
Abu Ja'far at-Tahawi, al-Hasan bin al-Khadir as-Suyuti, Muhammad bin
Mu'awiyyah bin al-Ahmar al-Andalusi dan Abu Bakar bin Ahmad as-Sunni, perawi Sunan Nasa'i.
Ketika
Imam Nasa'i selesai menyusun kitabnya, As-Sunanul-Kubra,
ia lalu menghadiahkannya kepada Amir ar-Ramlah. Amir itu betanya: "Apakah isi kitab ini sahih
seluruhnya?" "Ada yang
sahih, ada yang hasan dan ada pula yang hampir serupa dengan keduanya,"
jawabnya. "Kalau demikian,"
kata sang Amir, "Pisahkan
hadits-hadits yang sahih saja." Atas permintaan Amir ini maka Nasa'i
berusaha menyeleksinya, memilih yang sahih-sahih saja, kemudian dihimpunnya
dalam suatu kitab yang dinamakan As-Sunanus-Sugra.
Dan kitab ini disusun menurut sistematika fiqh sebagaimana kitab-kitab Sunan
yang lain.
Imam
Nasa'i sangat teliti dalam menyusun kitab Sunanus
Sugra. Karenanya ulama berkata: "Kedudukan
kitab Sunan Sugra ini di bawah derajat Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, karena
sedikit sekali hadits dha'if yang tedapat di dalamnya." Oleh karena
itu, kita dapatkan bahwa hadits-hadits Sunan
Sugra yang dikritik oleh Abul Faraj ibnul al-Jauzi dan dinilainya sebagai
hadits maudu' kepada hadits-hadits tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima.
As-Suyuti telah menyanggahnya dan mengemukakan pandangan yang berbeda
dengannya mengenai sebagian besar hadits yang dikritik itu. Dalam Sunan
Nasa'i terdapat hadits-hadits sahih, hasan, dan dha'if, hanya saja hadits
yang dha'if sedikit sekali jumlahnya. Adapun pendapat sebagian ulama yang
menyatakan bahwa isi kitab Sunan ini sahih semuanya, adalah suatu anggapan
yang terlalu sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Atau maksud
pernyataan itu adalah bahwa sebagian besar ini Sunan adalah hadits sahih.
Sunanus-Sugra
inilah yang dikategorikan
sebagai salah satu kitab hadits pokok yang dapat dipercaya dalam pandangan
ahli hadits dan para kritikus hadits. Sedangkan Sunanul-Kubra, metode
yang ditempuh Nasa'i dalam penyusunannya adalah tidak meriwayatkan sesuatu
hadits yang telah disepakati oleh ulama kritik hadits untuk ditinggalkan.
Apabila
sesuatu hadits yang dinisbahkan kepada Nasa'i, misalnya dikatakan, "hadits riwayat Nasa'i",
maka yang dimaksudkan ialah "riwayat
yang di dalam Sunanus Sugra, bukan Sunanul-Kubra", kecuali yang
dilakukan oleh sebagian kecil para penulis. Hal itu sebagaimana telah
diterangkan oleh penulis kitab 'Aunul-Ma'bud Syarhu Sunan Abi Dawud pada
bagian akhir uraiannya: "Ketahuilah,
pekataan al-Munziri dalam Mukhtasar-nya dan perkataan al-Mizzi dalam
Al-Atraf-nya, hadits ini diriwayatkan oleh Nasa'i", maka yang
dimaksudkan ialah riwayatnya dalam As-Suanul-Kubra, bukan Sunanus-Sugra yang
kini beredar di hampir seluruh negeri, seperti India, Arabia, dan
negeri-negeri lain. Sunanus-Sugra ini
merupakan ringkasan dari Sunanul-Kubra dan kitab ini hampir-hampir sulit
ditemukan. Oleh karena itu hadits-hadits yang dikatakan oleh al-Munziri dan
al-Mizzi, "diriwayatkan oleh Nasa'i" adalah tedapat dalam
Sunanul-Kubra. Kita tidak perlu bingung dengan tiadanya kitab ini, sebab
setiap hadits yang tedapat dalam Sunanus-Sugra, terdapat pula dalam
Sunanul-Kubra dan tidak sebaliknya.
Mengakhiri
pengkajian ini, perlu ditegaskan kembali, bahwa Sunan Nasa'i adalah salah
satu kitab hadits pokok yang menjadi pegangan.
Sumber:
Kitab Hadits Sahih yang Enam, Muhammad
Muhammad Abu Syuhbah
Al-Islam,
Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
|
Riwayat Hidup Imam Tirmizi
Sumber
: Al-Islam, Pusat Informasi dan
Komunikasi Islam Indonesia
==================================================
Setelah
Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud, kini giliran Imam Tirmizi, juga
merupakan tokoh ahli hadits dan penghimpun hadits yang terkenal. Karyanya
yang masyur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmizi). Ia juga tergolonga salah
satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab
Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal.
Nama Lengkap dan
Tahun Kelahirannya
Imam
al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak Sulami
at-Tirmizi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab
yang masyur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.
Perkembangan dan
Lawatannya
Kakek
Abu ‘Isa at-Tirmizi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan
menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak
kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk
keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan
lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar
dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kem dihafal dan dicatatnya
dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah
menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di
perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah
menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar
pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah
kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam
keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di
Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Guru-gurunya
Ia
belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya
adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia
belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmizi belajar pula hadits
dari sebagian guru mereka.
Guru
lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin
Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad
bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadits-hadits
dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya
ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd
bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf
an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan
kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu
‘Isa aat-Tirmizi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan
dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya,
amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya
ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib
at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
“Saya
mendengar Abu ‘Isa at-Tirmizi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan
menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi
hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan
kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah
orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa “dua
jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid
tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah
bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia
mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di
sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang
kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat
kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku
bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah
kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan
seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan
sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar
dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh
buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata:
‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama
sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti
engkau.”
Pandangan Para
Kritikus Hadits Terhadapnya
Para
ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan
keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits,
menggolangkan Tirmizi ke dalam kelompok “Siqat” atau orang-orang yang dapat
dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata:
"Tirmizi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”
Abu
Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa
at-Tirmizi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah
diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia
terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang
menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti
atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan
pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.
Fiqh Tirmizi dan
Ijtihadnya
Imam
Tirmizi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui
kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh
yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab
Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya
terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh
mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti
betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh ialah
penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang
yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:
“Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya.” Imam Tirmizi memberikan penjelasan sebagai berikut: Sebagian ahli ilmu berkata: “ apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Sebagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).” Mereka memakai alas an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.” Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”
Itulah
salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa betapa cemerlangnya
pemikiran fiqh Tirmizi dalam memahami nas-nas hadits, serta betapa luas dan
orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya
Imam
Tirmizi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmizi. 2. Kitab Al-‘Ilal. 3. Kitab At-Tarikh. 4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah. 5. Kitab Az-Zuhd. 6. Kitab Al-Asma’ wal-kuna. Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang
Al-Jami’
Kitab
ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmizi terbesar dan paling banyak
manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok
Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan
nama Jami’ Tirmizi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan
nama Sunan Tirmizi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebagian
ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga
mereka menamakannya dengan Sahih Tirmizi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak
tepat dan terlalu gegabah.
Setelah
selesai menyususn kitab ini, Tirmizi memperlihatkan kitabnya kepada para
ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah
selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama
Hijaz, Irak dan Khurasa, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di
rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”
Imam
Tirmizi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata,
tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal
dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam
pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits
yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini
merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan
semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu
sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang
sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan,
bahwa ia pernah berkata: “Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah
dapat diamalkan.” Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya
(sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu:
Pertama, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”
“Jika
ia peminum khamar – minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”
Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibn Munzir.
Hadits-hadits
da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut
fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu
dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan
mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan
bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.
Sumber:
Kitab Hadis Sahih yang Enam,
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah
|
Riwayat Hidup Imam An-Nawawi
Al-Hafidz Adz-Dzahabi dalam
bukunya Tadzkiratul Huffadz (juz.4,
hal. 1472) dan Ibnu Qadhi Syuhbah dalam Thabaqotus
Syafi'iyyah (juz. 2, hal. 194) di dalam bab biografi Imam Nawawi berkata
:
Beliau
adalah Al-Imam Al-Hafidz Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syarf bin Muri bin
Al-Hizami Al-Haurani As-Syafi'i, penulis banyak kitab, lahir pada bulan
Muharram 631 H di kota Nawa (oleh sebab itu beliau dikenal dengan An-Nawawi).
Beliau menginjakkan kakinya di kota Baghdad pada tahun 649 H dan tinggal di
sekolah Ar-Ruhiyyah. Setiap harinya beliau hanya makan sedikit roti yang
dibagikan di sekolah tersebut.
Beliau
pernah berkata, "Kurang lebih dua
tahun saya tinggal di sekolah Ar-Ruhiyyah dan selama itu pula saya tidak
pernah tidur berbaring." Dalam waktu empat setengah bulan beliau
berhasil menghafalkan kitab At-Tanbih
dan dalam waktu tujuh setengah bulan beliau berhasil menghafalkan kitab
seperempat kitab Al-Muhadzdzab.
Beliau sempat mengoreksi hafalan beliau tersebut di depan gurunya As-Syeikh
Kamal Ishaq bin Ahmad.
Salah
seorang murid beliau As-Syeikh Abu Hasan bin Al-Atthar pernah mendengar dari
beliau bahwa beliau Imam Nawawi setiap harinya membaca 12 materi pelajaran
dengan men-syarah dan men-tashih di hadapan guru-gurunya yaitu 2
materi dari kitab Al-Wasith (Figih),
1 materi dari kitab Al-Muhadzdzab
(Figih), 1 materi dari kitab Al-Jam'u
baina Sahihain (Metodologi Hadits), 1 materi dari kitab Shahih Muslim (Hadits), 1 materi dari
kitab Al-Luma' karya Ibnu Jinni
(Nahwu), 1 materi tentang Ishlahul
Mantiq (Etimologi), 1 materi di bidang Shorof, 1 materi di bidang Ushul
Figih (terkadang membaca kitab Al-Luma'
karya Abu Ishaq atau terkadang membaca kitab Al-Muntakhab karya Fakhruddin Ar-Razy), 1 materi di bidang Asma'ul Rijal (kitab yang menerangkan
tentang perawi hadits), 1 materi di bidang Teologi, dan 1 materi lagi di bidang Nahwu.
Kemudian
beliau Imam Nawawi menambahkan, "Semua
buku yang saya baca tadi, saya komentari, terkadang men-syarah
kalimat-kalimat yang sulit, menjelaskan beberapa makna, atau mengkoreksi
susunan bahasanya. Semoga Alloh selalu memberkahi waktuku."
Abu
Al-Atthar menyebutkan gurunya Imam Nawawi pernah bercerita kepadanya bahwa
beliau tidak pernah mensia-siakan waktunya sekejap pun. Waktu beliau selalu
habis untuk menuntut ilmu, bahkan di jalan pun beliau selalu membaca dan hal
itu berlangsung selama 6 tahun.
Beliau
juga mengarang, mengajar dan memberikan nasehat-nasehat dalam hal kebaikan.
Sehari semalam beliau hanya makan sekali pada akhir Isya' (menjelang waktu
sahur), begitu juga dengan minum.
Beliau
selalu sibuk mengarang, menyebarkan ilmu, beribadah, berdzikir, berpuasa dan
sabar akan kehidupannya yang serba pas-pasan, baik dalam hal sandang maupun
pangan. Pakaian beliau pun terbuat dari kulit.
Beliau
berpulang ke rahmatullah pada tahun
676 H pada usia yang relatif muda 45 tahun. Sampai akhir hayatnya, beliau
meninggalkan banyak karangan besar. Betapa berkahnya umur beliau.
[Disarikan dari Nilai
Waktu Menurut Ulama, Abdul Fattah Abu Ghuddah, cetakan I, 1996, penerbit
Pustaka Amani, Jakarta]
|
0 komentar:
Posting Komentar