Bagaimana kita memahami pengertian hidup sukses? Dari mana harus
memulainya ketika kita ingin segera diperjuangkan? Tampaknya tidak
terlalu salah bila ada orang yang telah berhasil menempuh jenjang
pendidikan tinggi, bahkan lulusan luar negeri, lalu menganggap dirinya
orang sukses. Mungkin juga seseorang yang gagal dalam menempuh jalur
pendidikan formal belasan tahun lalu, tetapi saat ini berani menepuk
dada karena yakin bahwa dirinya telah mencapai sukses. Mengapa demikian?
Karena, ia telah memilih dunia wirausaha, lalu berusaha keras tanpa
mengenal lelah, sehingga mewujudlah segala buah jerih payahnya itu dalam
belasan perusahaan besar yang menguntungkan.
Seorang ayah dihari
tuanya tersenyum puas karena telah berhasil mengayuh bahtera rumah
tangga yang tentram dan bahagia, sementara anak anaknya telah ia antar
ke gerbang cakrawala keberhasilan hidup yang mandiri. Seorang kiai atau
mubaligh juga berusaha mensyukuri kesuksesan hidupnya ketika jutaan umat
telah menjadi jamaahnya yang setia dan telah menjadikannya sebagai
panutan, sementara pesantrennya selalu dipenuh sesaki ribuan santri.
Pendek kata, adalah hak setiap orang untuk menentukan sendiri dari sudut
pandang mana ia melihat kesuksesan hidup. Akan tetapi, dari sudut
pandang manakah seyogyanya seorang muslim dapat menilik dirinya sebagai
orang yang telah meraih hidup sukses dalam urusan dunianya?
Membangun Fondasi
Kalau
kita hendak membangun rumah, maka yang perlu terlebih dahulu dibuat dan
diperkokoh adalah fondasinya. Karena, fondasi yang tidak kuat sudah
dapat dipastikan akan membuat bangunan cepat ambruk kendati dinding dan
atapnya dibuat sekuat dan sebagus apapun. Sering terjadi menimpa sebuah
perusahaan, misalnya yang asalnya memiliki kinerja yang baik, sehingga
maju pesat, tetapi ternyata ditengah jalan rontok. Padahal, perusahaan
tersebut tinggal satu dua langkah lagi menjelang sukses. Mengapa bisa
demikian? ternyata faktor penyebabnya adalah karena didalamnya
merajalela ketidakjujuran, penipuan, intrik dan aneka kezhaliman
lainnya.
Tak jarang pula terjadi sebuah keluarga tampak berhasil
membina rumah tangga dan berkecukupan dalam hal materi. Sang suami
sukses meniti karir dikantornya, sang isteri pandai bergaul ditengah
masyarakat, sementara anak-anaknya pun berhasil menempuh jenjang studi
hingga ke perguruan tinggi, bahkan yang sudah bekerjapun beroleh posisi
yang bagus. Namun apa yang terjadi kemudian?
Suatu ketika hancurlah
keutuhan rumah tangganya itu karena beberapa faktor yang mungkin mental
mereka tidak sempat dipersiapkan sejak sebelumnya untuk menghadapinya.
Suami menjadi lupa diri karena harta, gelar, pangkat dan kedudukannya,
sehingga tergelincir mengabaikan kesetiaannya kepada keluarga. Isteripun
menjadi lupa akan posisinya sendiri, terjebak dalam prasangka, mudah
iri terhadap sesamanya dan bahkan menjadi pendorong suami dalam berbagai
perilaku licik dan curang. Anak-anakpun tidak lagi menemukan ketenangan
karena sehari-hari menonton keteladanan yang buruk dan menyantap harta
yang tidak berkah.
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk
merintis sesuatu secara baik? Alangkah indah dan mengesankan kalau kita
meyakini satu hal, bahwa tiada kesuksesan yang sesungguhnya, kecuali
kalau Allah Azza wa Jalla menolong segala urusan kita. Dengan kata lain
apabila kita merindukan dapat meraih tangga kesuksesan, maka segala
aspek yang berkaitan dengan dimensi sukses itu sendiri harus disandarkan
pada satu prinsip, yakni sukses dengan dan karena pertolongan-Nya.
Inilah yang dimaksud dengan fondasi yang tidak bisa tidak harus
diperkokoh sebelum kita membangun dan menegakkan mernara gading
kesuksesan.
Sunnatullah dan Inayatullah
Terjadinya
sesoang bisa mencapai sukses atau terhindar dari sesuatu yang tidak
diharapkannya, ternyata amat bergantung pada dua hal yakni sunnatullah
dan inayatullah. Sunatullah artinya sunnah-sunnah Allah yang mewujud
berupa hukum alam yang terjadinya menghendaki proses sebab akibat,
sehingga membuka peluang bagi perekayasaan oleh perbuatan manusia.
Seorang mahasiswa ingin menyelesaikan studinya tepat waktu dan dengan
predikat memuaskan. Keinginan itu bisa tercapai apabila ia bertekad
untuk bersungguh-sungguh dalam belajarnya, mempersiapkan fisik dan
pikirannya dengan sebaik-baiknya, lalu meningkatkan kuantitas dan
kualitas belajarnya sedemikian rupa, sehingga melebihi kadar dan cara
belajar yang dilakukan rekan-rekannya. Dalam konteks sunnatullah, sangat
mungkin ia bisa meraih apa yang dicita-citakannya itu.
Akan
tetapi, ada bis yang terjatuh ke jurang dan menewaskan seluruh
penumpangnya, tetapi seorang bayi selamat tanpa sedikitpun terluka.
Seorang anak kecil yang terjatuh dari gedung lantai ketujuh ternyata
tidak apa-apa, padahal secara logika terjatuh dari lantai dua saja ia
bisa tewas. Sebaliknya, mahasiswa yang telah bersungguh-sungguh
berikhtiar tadi, bisa saja gagal total hanya karena Allah menakdirkan ia
sakit parah menjelang masa ujian akhir studinya, misalnya. Segala yang
mustahil menurut akal manusia sama sekali tidak ada yang mustahil bila
inayatullah atau pertolongan Allah telah turun.
Demikian pula
kalau kita berbisnis hanya mengandalkan ikhtiar akal dan kemampuan saja,
maka sangat mungkin akan beroleh sukses karena toh telah menetapi
prasyarat sunnatullah. Akan tetapi, bukankah rencana manusia tidak mesti
selalu sama dengan rencana Allah. Dan adakah manusia yang mengetahui
persis apa yang menjadi rencana Nya atas manusia? Boleh saja kita
berjuang habis-habisan karena dengan begitu orang kafirpun toh beroleh
kesuksesan. Akan tetapi, kalau ternyata Dia menghendaki lain lantas kita
mau apa? mau kecewa? kecewa sama sekali tidak mengubah apapun.
Lagipula, kecewa yang timbul dihati tiada lain karena kita amat
menginginkan rencana Allah itu selalu sama dengan rencana kita. Padahal
Dialah penentu segala kejadian karena hanya Dia yang Maha Mengetahui
hikmah dibalik segala kejadian.
Rekayasa Diri
Apa
kuncinya? Kuncinya adalah kalau kita menginginkan hidup sukses di
dunia, maka janganlah hanya sibuk merekayasa diri dan keadaan dalam
rangka ikhtiar dhahir semata, tetapi juga rekayasalah diri kita supaya
menjadi orang yang layak ditolong oleh Allah. Ikhtiar dhahir akan
menghadapkan kita pada dua pilihan, yakni tercapainya apa yang kita
dambakan - karena faktor sunnatullah tadi - namun juga tidak mustahil
akan berujung pada kegagalan kalau Allah menghendaki lain.
Lain halnya kalau ikhtiar dhahir itu diseiringkan dengan ikhtiar bathin.
Mengawalinya
dengan dasar niat yang benar dan ikhlas semata mata demi ibadah kepada
Allah. Berikhtiar dengan cara yang benar, kesungguhan yang tinggi, ilmu
yang tepat sesuai yang diperlukan, jujur, lurus, tidak suka menganiaya
orang lain dan tidak mudah berputus asa. Senantiasa menggantungkan harap
hanya kepada Nya semata, seraya menepis sama sekali dari berharap
kepada makhluk. Memohon dengan segenap hati kepada Nya agar bisa
sekiranya apa-apa yang tengah diikhtiarkan itu bisa membawa maslahat
bagi dirinya mapun bagi orang lain, kiranya Dia berkenan menolong
memudahkan segala urusan kita. Dan tidak lupa menyerahkan sepenuhnya
segala hasil akhir kepada Dia Dzat Maha Penentu segala kejadian. Bila
Allah sudah menolong, maka siapa yang bisa menghalangi pertolongan-Nya?
Walaupun bergabung jin dan manusia untuk menghalangi pertolongan yang
diturunkan Allah atas seorang hamba Nya sekali-kali tidak akan pernah
terhalang karena Dia memang berkewajiban menolong hamba-hambaNya yang
beriman.
"Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu. Jika Allah membiarkan kamu
(tidak
memberikan pertolongan) maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu
(selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja
orang-orang mukmin bertawakal" (QS Ali Imran (3) : 160).
From : K.H Abdullah Gymnastiar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar